Dalam beberapa dekade terakhir, sistem pendidikan di banyak negara berkembang mulai menunjukkan ketertarikan terhadap pendekatan humanistik. bldbar Salah satu wujud konkrit dari pendekatan ini adalah mengintegrasikan seni sebagai bagian inti dari kurikulum pendidikan. Tidak lagi dianggap sebagai pelajaran tambahan atau pelengkap, seni mulai diposisikan sejajar dengan mata pelajaran utama seperti matematika dan bahasa.
Eksperimen ini muncul dari keprihatinan terhadap model pendidikan yang terlalu menekankan aspek kognitif dan akademik semata, sementara aspek afektif dan kreatif sering terpinggirkan. Di tengah tekanan globalisasi, ketimpangan sosial, dan krisis identitas budaya, seni dinilai mampu menjadi jembatan untuk membentuk manusia yang lebih utuh, peka, dan reflektif.
Mengapa Seni Menjadi Pilihan
Seni tidak hanya berkaitan dengan ekspresi estetika, tetapi juga berperan dalam membentuk empati, imajinasi, dan kesadaran sosial. Di negara berkembang, seni digunakan sebagai alat untuk menjangkau siswa yang berasal dari latar belakang marginal—mereka yang mungkin tertinggal dalam sistem pendidikan konvensional. Melalui seni, siswa dapat mengutarakan pengalaman, trauma, atau gagasan mereka dengan cara yang tidak selalu bisa disampaikan lewat bahasa verbal.
Pendekatan ini juga membuka ruang untuk mengangkat isu-isu lokal melalui karya kreatif. Misalnya, anak-anak di daerah konflik dapat membuat pertunjukan teater tentang perdamaian, atau siswa di desa nelayan menggambarkan dinamika laut melalui lukisan dan puisi. Proses ini bukan sekadar menghasilkan karya, tetapi menjadi ruang pembelajaran kontekstual dan bermakna.
Implementasi di Sekolah dan Komunitas
Di beberapa negara seperti Kenya, India, dan Indonesia, seni mulai diperkenalkan sebagai bagian dari kurikulum inti di sekolah-sekolah alternatif dan komunitas belajar. Pelajaran seni tidak hanya berdiri sendiri, tetapi juga diintegrasikan dalam mata pelajaran lain. Sebagai contoh, siswa belajar matematika melalui musik ritmis, atau mengeksplorasi sejarah melalui drama dan narasi visual.
Guru dalam konteks ini tidak hanya berfungsi sebagai pengajar materi, tetapi juga sebagai fasilitator eksplorasi kreatif siswa. Sementara itu, komunitas lokal juga dilibatkan sebagai bagian dari ekosistem belajar. Seniman lokal, tokoh budaya, dan pengrajin tradisional berperan aktif dalam proses pendidikan, membawa siswa lebih dekat pada warisan budaya mereka sendiri.
Tantangan dan Kendala yang Dihadapi
Meskipun pendekatan ini dinilai progresif dan relevan, implementasinya tidak tanpa tantangan. Kendala utama adalah persepsi bahwa seni bukan bagian “serius” dari pendidikan. Banyak pengambil kebijakan dan orang tua masih menganggap seni sebagai pelajaran hobi yang kurang bermanfaat bagi masa depan anak, terutama di masyarakat yang masih berfokus pada pencapaian akademik sebagai tolok ukur keberhasilan.
Selain itu, keterbatasan fasilitas, kurangnya tenaga pengajar yang kompeten di bidang seni, serta minimnya dukungan anggaran menjadi hambatan utama di banyak sekolah negeri di negara berkembang. Belum lagi tekanan dari sistem ujian nasional yang sering kali tidak memberikan ruang untuk pendekatan berbasis kreativitas.
Potensi Jangka Panjang dan Dampak Sosial
Meskipun masih dalam tahap eksperimen, pendidikan dengan seni sebagai kurikulum inti menunjukkan sejumlah dampak positif. Siswa cenderung lebih percaya diri, mampu berpikir kritis, dan menunjukkan kepedulian sosial yang lebih tinggi. Pendekatan ini juga menciptakan ruang aman bagi ekspresi diri, yang penting dalam membangun kesehatan mental dan identitas anak.
Dalam jangka panjang, sistem pendidikan yang mengintegrasikan seni dapat menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga sensitif secara emosional dan sosial. Hal ini menjadi sangat penting di negara berkembang yang tengah menghadapi persoalan struktural seperti kemiskinan, konflik sosial, dan disintegrasi budaya.
Kesimpulan
Mengangkat seni sebagai kurikulum inti merupakan langkah berani dalam membangun pendekatan pendidikan yang lebih humanistik dan inklusif. Di negara berkembang, eksperimen ini menjadi alternatif menjanjikan untuk menciptakan ruang belajar yang kontekstual, reflektif, dan membebaskan. Meski menghadapi berbagai tantangan, pendidikan berbasis seni menyimpan potensi besar untuk menciptakan transformasi sosial dari ruang kelas hingga komunitas.